Jems Tuuk Serap Aspirasi Warga Desa Kanaan

Jems Tuuk Serap Aspirasi Warga Desa Kanaan
Bolmora-Bolmong
Meski sudah terhitung puluhan tahun hidup di Tanah Totabuan, namun tak menjamin keamanan bagi para transmigran yang mendiami dataran Dumoga. Pun, busur panah keluh kesah menyasar pemerintah sebagai penentu kewenangan. Tak pelak, wakil rakyat Sulawesi Utara (Sulut) jadi harapan penyampaian aspirasi, dengan harapan jaminan kepemilikan tanah bisa digenggam.
Reses pertama di tahun 2016 menjadi momen pengabdian para penghuni gedung cengkeh. Mereka akan memiliki informasi hangat di masyarakat yang notabene adalah persoalan penting. Seperti dialami anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulut Julius Jems Tuuk, ketika menyerap aspirasi di Desa Kanaan, Kecamatan Dumoga, Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), akhir pekan lalu.
tak tanggung-tanggung dihadapan wakil rakyat daerah pemilihan Bolmong Raya itu, terlontar keluh warga mengenai transmigran yang telah lama menetap, tapi belum memiliki sertifikat tanah. Masalahnya, sejak tahun 1989 dijanjikan Pemerintah Provinsi Sulut, yakni masa awal masyarakat mendiami Desa Kanaan.
Masyarakat Desa Kanaan umumnya merupakan warga transmigrasi tersebut. Ketika tidak memiliki sertifikat, ada kekhawatiran nantinya lahan yang ditempati dirampas perusahaan tambang yang masuk ke Desa mereka serta mengklaim kepemilikan lahan.
Para transmigran tersebut datang dari daerah Tomohon, Tondano, Posigadan dan Toruakan. Sejumlah persoalan sering dihadapi terkait masalah sertifikat ini. Sepanjang mereka bermohon bantuan dana, proposal pembangunan rumah ibadah selalu terhambat dalam dokumen sertifikat tanah dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). “Torang masyarakat desa Kanaan mo tuntut itu janji pemerintah provinsi Sulut terkait pemberian sertifikat tanah, karena kalau torang mo iko Prona, biayanya sampai 500 ribu,” keluh Sekretaris Desa (Sekdes) Kanaan, Deiske Walangitan.
Merespon aspirasi masyarakat, Julius James Tuuk mengatakan, dirinya bersama Komisi I DPRD Sulut pada tahun 2015 pernah mempertanyakan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) sehubungan dengan hal ini. Yaitu tentang apakah ada program bagi rakyat dalam pengurusan sertifikat. Ketika itu Menteri terkait menjawab, pemerintah membuat yang namanya Program Sertifikat Tanah (Prona). Biayanya hanya seharga kertas dan meterai. “Karena sekarang hak-hak tanah ulayat atau tanah adat dirampok oleh negara, atas nama IUP (izin Usaha Perdagangan) diberikan kepada pemodal-pemodal besar dan mereka melakukan ekspansi dan eksploitasi tanah milik rakyat. Tanah milik rakyat yang notabene cuma pegang dirit atau surat dari Sangadi (Kepala Desa),” papar politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini.
Lagislator vocal ini kemudian mengusulkan agar pemerintah menyurati pihak kantor wilayah (Kanwil) BPN terkait pembuatan sertifikat tanah. Dianjurkannya, proses tersebut diusulkan lewat Sangadi, minta tandatangan Camat dan dibawa ke BPN Kabupaten atau lewat DPRD Sulut. “Dan kita bawa sama-sama ke Kanwil BPN untuk pembuatan sertifikat. Karena jika dibiarkan tanah ini akan menjadi seperti di Bakan. Di sana tanah adat diklaim oleh pihak JRBM yang merupakan perusahaan tambang,” tegasnya.(ady)