
Oleh: Dr. Sutarjo Paputungan, M.Pd.I
GURU, selalu menjadi sosok yang sangat menarik untuk dibicarakan dalam setiap persoalan yang terkait dengan dunia pendidikan. Dengan berbagai kasus yang terjadi dan berbagai prestasi yang diraih selalu dilihat dari sudut pandang yang berbeda sehingga seringkali memunculkan konflik di internal lembaga dan organisasi profesi guru. Bagai mengurut benang kusut, darimana dimulai dan pada titik mana akan berakhir. Jawaban atas pertanyaan tersebutpun tergantung pada sudut pandang mana yang digunakan dalam melihat guru sebagai profesi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud dengan guru adalah pengajar suatu ilmu. Sedangkan menurut Undang-Undang Guru dan Dosen nomor 14 tahun 2005 dalam ketentuan umum menjelaskan bahwa guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Dalam BAB II pasal 2 ayat 1 dan 2 dijelaskan bahwa Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga professional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan. Pengakuan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Dari devinisi guru tersebut harus diakui bahwa guru memiliki kedudukan dan peran yang sangat penting dan strategis. Tidak ada seorangpun yang bisa berdiri didepan kelas untuk melakukan pembelajaran tanpa memiliki kualifikasi dan kompetensi sebagai guru. Sebagai pengajar, pendidik dan pelatih para peserta didik guru merupakan agen perubahan (agent of social change) yang mampu mengubah pola pikir, sikap, dan prilaku manusia menuju kehidupan yang lebih baik, lebih bermartabat dan lebih mandiri. Keadaan guru seperti inilah yang lantas kemudian guru sebagai sosok yang digugu dan ditiru. Persoalan yang sering muncul untuk sosok guru saat ini adalah masihkan guru bisa digugu dan ditiru? Apakah pepatah tersebut masih relefan dengan zaman sekarang? Mengingat guru zaman dulu menempati kedudukan yang sangat mulia, patut diteladani karena ilmunya yang mumpuni dan memiliki karakter yang tidak dimiliki orang lain selain guru.
Sebagai sebuah refleksi tentang sosok guru sejenak kita flashback tentang guru masa lalu yang lebih dikenal dengan sebutan guru Oemar Bakri yang lagunya didendangkan oleh Iwan Fals yang menggambarkan nasib guru di era 70an. Guru dengan kehidupan yang pas-pasan karena dengan gajinya yang tidak begitu besar dan banyak potongan-potongan namun tetap dihormati karena kesopanan dan kesantunannya dalam bergaul dan bertingkahlaku. Guru zaman dulu benar-benar penuh dengan pengabdian, mengajar , mendidik dan membimbing tanpa pamrih, penuh tanggungjawab dan kharismatik. Mayoritas kehidupan guru zaman dulu sangat sederhana, jauh dari kemewahan. Mengajar dengan menaiki sepeda kumbang dan menenteng tas kulit berwarna hitam. Keadaan yang sangat sederhana namun mampu melahirkan generasi-generasi yang sangat luar biasa. Tanpa apresiasi dari pemerintah dan tanpa balas jasa dari wali peserta didik. Kondisi inilah yang telah melahirkan bahwa guru sebagai sosok pahlawan tanpa tanda jasa sebagaimana dalam lagu hymne guru yang kata-kata dan nadanya sering membuat kita hanyut dalam perasaan dan karena liriknya yang sederhana dan nadanya mudah diingat dengan cepat lagu hymne guru menyebar bahkan hingga saat ini lagu hymne guru selalu dikumandangkan pada setiap moment hari guru dan kenaikan kelas sekalipun kondisinya sudah mengalami pergeseran nilai. Guru zaman dulu memang jauh dengan alat technologi namun mereka mampu melahirkan generasi yang banyak meraih prestasi, berbudi pekerti dan penuh dedikasi.
Kondisi guru saat ini tentu berbeda jauh dengan kondisi guru zaman dulu. Sekalipun peran dan fungsinya sama namun masih saja dipertanyakan karena hasil dari pendidikan saat ini masih belum bisa dirasakan.
Pergeseran nilai memang sudah terjadi, namun hal itu bukan tanpa sebab. Jika guru zaman dulu tidak dihadapkan dengan serentetan dan setumpuk persoalan administrasi, guru saat ini harus mampu menyelesaikan tumpukan administrasi sehingga seringkali dijadikan dalih menyita waktu untuk focus dengan tugas utamanya. Guru saat ini juga dihadapkan dengan berbagai macam pelatihan-pelatihan yang konon untuk meningkatkan mutu pendidikan namun nyatanya hingga saat ini masih bertahan diposisi terendah di tingkat Asia apalagi di tingkat dunia. Sebutan guru pembelajar, adanya Instruktur sebaya dengan kegiatan IN-ON, Lesson study, UKG, PLPG, PPG Daljab, Diklat Pelatihan Mooc Pintar dan kegiatan lain yang sekarang benar-benar banyak menyita waktu bagi guru telah menyebabkan proses pembelajaranpun tidak sesuai dengan semestinya. Betapa tidak, guru yang terlibat dalam kegiatan tersebut dengan sendirinya telah meninggalkan tugas dan fungsinya sebagai guru yang harus mentransfer ilmu. Semuanya memang bisa disiasati namun tetap saja tidak sebagaimana mestinya.
Secara financial guru saat ini memang sudah sangat dihargai karena selain mendapatkan gaji bulanan, mendapat pula tunjangan daerah dan tunjangan profesi sehingga secara materi dipandang sangat sejahtera. Hal inilah yang menyebabkan profesi guru menjadi profesi favorit dan diminati oleh banyak orang. Namun kenyataan tidak bisa dipungkiri, tingginya tingkat kesejahteraan ternyata tidak berbanding lurus dengan tingginya kinerja dan kualitas diri sehingga berdampak terhadap rendahnya kualitas pendidikan di negeri ini. Niat semula pemerintah memberikan tunjangan profesi agar guru bisa menjadi lebih professional, menguasai IT dan informasi ternyata masih belum bisa dirasakan hingga saat ini. Yang nampak adalah kesejahteraan keluarga sehingga menyebabkan ketimpangan status sosial di lingkungannya. Jika dulu guru menumpangi sepeda kumbang, guru saat ini mengendari kendaraan roda dua dan empat dengan berbagai merk. Berjejer di halaman satuan pendidikan layaknya dealer atau showroom motor dan mobil. Keadaan seperti ini telah menyebabkan Sosok guru yang dimaknai sebagai sosok yang patut digugu dan ditiru telah bergeser menjadi sosok guru yang dipandang belagu dan banyak meniru. Kecanggihan alat technologi telah menjadikan guru sebagai peniru hasil karya orang lain. Semua yang harus dilakukan secara administrative bisa di lihat diberbagai media. Kondisi seperti ini memang tidak dialami oleh semua guru namun sebagian besar guru kondisinya memang seperti itu.
Pemerintah memang telah membekali guru dengan berbagai kompetensi yang diantaranya adalah kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi professional dan kompetensi sosial namun tentu tidak hanya cukup dengan memenuhi kapasitas keilmuannya saja melainkan harus dengan tindakan nyata sebab seperti pepatah Arab yang mengatakan: ” ilmu tanpa amal bagaikan pohon tak berbuah”. Oleh karena itu, guru harus mampu mendorong peserta didiknya untuk melakukan tindakan nyata kearah yang positif dan lebih baik. Semoga dengan moment hari Pendidikan Nasional tahun 2025 ini bisa merefleksi untuk bisa melakukan perubahan yang kreatif dan inovatif. “Selamat hari Pendidikan Nasional. Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu Untuk Semua”
*(Penulis adalah Pengiat literasi, Ketua PC. PERGUNU Kota Gorontalo dan Kepala Satuan Pendidikan MIN 1 Kota Gorontalo)