Ini Kata Psikolog Soal Dampak Keseringan Upload Foto Anak di Medsos
BOLMORA, LIFESTYLE – Tak bisa dimungkiri, saat ini kebanyakan orang tua terlebih ibu, tak mau ketinggalan untuk mengabadikan momen tumbuh kembang si kecil. Bahkan, setiap keceriaan maupun kecemberutan si kecil sekali pun tetap saja jadi incaran bidikan kamera si ibu.
Pun tak jarang ibu lantas langsung meng-upload atau mengunggah foto anak di akun media sosial (Medsos). Meski hal tersebut merupakan kegiatan yang lumrah dilakukan orang tua, namun sudahkah Anda memahami soal dampak bila berlebih atau terlalu sering memposting foto anak di medsos?.
Berikut penjelasan psikolog anak Elizabeth Santosa:
Menurutnya, hal itu disebut overexpose, dan biasanya orang lain juga akan menilainya seperti itu.
“Kalau foto anak-anak sebenarnya nggak ada masalah, cuma gunanya apa sih?. Semua upload itu nggak ada maksudnya. Satu, jangan sampai menimbulkan kecemburuan, karena kadang-kadang foto lagi liburan ke mana, itu sebenarnya nggak apa-apa, tapi balik lagi jangan sampai menimbulkan kecemburuan. Tapi kita harus peka dong,” imbuh Lizzie, sapaan akrab Elizabeth, usai acara Cussons Bintang Kecil 5: Wujud Ekspresif Anak ‘Tumbuh dengan Cinta’ yang digelar di Atrium Gandaria City, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Minggu (26/3/2017)
Bagi Lizzie, mencintai anak itu bukan berarti memprioritaskan anak dalam arti segala sesuatu diperlakukan sebagai raja dan ratu.
“Biasanya kalau kita perlakukan seperti itu, nantinya akan memunculkan shock saat si anak tumbuh remaja,” sebutnya.
Pada kenyataannya, hal ini juga kerap dirasakan oleh fotografer profesional Roy Genggam, yang telah berpengalaman memotret lebih dari puluhan anak. Di sepanjang perjalanannya sebagai fotografer, ia banyak menemukan orang tua yang ambisius.
“Anak itu dipaksa sampai mereka kadang suka nangis. Terus biasanya saya nggak tega. Maka itu di studio, saya siapin fasilitas buat anak-anak agar mereka nggak merasa tertekan. Takutnya begitu dia tertekan sekali, ada situasi pemotretan sampai gede tuh trauma sama pemotretan,” terang Roy.
Lizzie berpendapat yang sama. Tentunya ‘pemaksaan’ ini dapat menimbulkan trauma bagi anak. Di samping itu, anak justru akan ketagihan berfoto tanpa melihat situasi atau kondisi, dan tempat di mana ia berada.
“Sebenarnya nggak masalah cuma kadang-kadang bisa foto nggak pada tempatnya. Contoh, di pemakaman. Anything too much is never good. Jadi anak harus tahu tempat-tempatnya, kapan difoto, kapan nggak,” urai Lizzie.
Sumber: Detik.com